Rabu, 28 Oktober 2015

Masih dengan Kopi yang Sama ☕

     Bagaimana bisa kamu pergi saat kita baru saja menikmati kopi yg masih hangat ini? Kopi yang kita racik dengan takaran 2 : 1, antara putih dan hitam, manis dan pahit, suka dan duka, tawa dan tangis, aku dan kamu. Pandai sekali kamu meracik kopi ini, sehingga bukan saja rasa manis yang kudapat, pahitnya pun tetap enak kurasakan.
 
     Aku masih tetap di posisi ini, menunggu kamu muncul dan duduk di sampingku, lalu kita nikmati kembali kopi yang masih tersisa ini. Tapi rasanya pasti kamu tidak akan mau menikmati kopi yang sudah terlanjur dingin ini, maka dari itu aku selalu menjaga kehangatannya. Sampai ketika aku berada di titik terendah, menunggu adalah hal yang paling ku benci, tapi denganmu aku mampu bertahan sejauh ini. Biarlah jika kamu sudah tidak mau lagi kopi ini, aku tetap mau menikmatinya walaupun seorang diri.

    Memang benar yang mereka katakan, seenak apapun kopi itu jika sudah terlanjur dingin dan kamu masih terus berusaha menghangatkannya berkali-kali rasanya tidak akan sama dengan racikan pertama kali. Manis pahit nya masih terasa, tapi kenapa ada rasa getir yang kurasakan? Sempat tersirat pikiran untuk ku buang saja kopi ini, tapi hati tak mengizinkan. Lalu seseorang datang menawarkan secangkir kopi yang masih panas, aromanya memikat dan sepertinya jauh lebih nikmat. Ah, tidak kupedulikan ia yang datang menawarkan kehangatan di kondisi yang sangat dingin ini. Semakin lama semakin besar hasratku untuk mencicipi kopi itu. Tegukan pertama ku temukan rasa yang teramat manis, dan aku suka. Lalu kembali ku coba, di tegukan kedua rasanya semakin menghipnotis, di tegukan ketiga dan keempat rasanya masih sama, tetapi aku mulai bosan dengan rasa yang itu-itu saja. Lama terbuai dengan rasa yang kau berikan, aku tidak tersadar kopi ini habis dan kamu juga menghilang bersamaan dengan kopi yang kau bawa. Aku baru tersadar, ini kopi instan, bukan kita yang meraciknya dengan selera kita berdua. Kamu tawarkan aku dengan rasa seleramu, lalu kau buat aku menyukainya, walaupun hanya sekejap. Memang yang instan tidak pernah meninggalkan ampas bahkan kesan.

     Ku lirik kembali cangkir di atas meja itu, kopi pertama yang ku buat denganmu. Jadi, kapan kamu akan kembali menikmati kopi yang pernah kita buat dulu? Memang mungkin sudah tidak se-enak dulu, bagaimanapun itu mari kita habiskan sisa-sisa ini bersama. Lalu kita racik kembali dengan rasa yang jauh lebih nikmat. Jika kamu mencariku, aku tetap disini masih dengan kopi yang sama.